Catatan Sejarah
Dari catatan sejarah yang ada, pembangunan gedung Stadhuis (Balai Kota) dilakukan sebanyak tiga kali pada kurun waktu yang tidak bersamaan.
Dari catatan sejarah yang ada, pembangunan gedung Stadhuis (Balai Kota) dilakukan sebanyak tiga kali pada kurun waktu yang tidak bersamaan.
Pembangunan pertama dilakukan oleh Jan Pieterszoon Coen pada 1620, dan hanya bertahan 6 tahun.
Kemudian diganti dengan Balai Kota kedua (1627 - 1707), yang dibangun pada sisi selatan halaman utama kota Batavia, di lokasi sekarang ini.
Tahun 1629, pasukan Sultan Agung berhasil membakar gedung Stadhuis tersebut.
Tahun 1649, dibangun lima buah sel di bawah gedung.
Tahun 1665, gedung utama diperlebar dengan menambah masing-masing satu ruangan di bagian Barat dan Timur.
Tanggal 25 Januari 1707, Gubernur Jenderal Joan van Hoorn mulai membangun gedung baru. Peletakan batu pertama dilakukan oleh putrinya, yang bernama Petrolina Willhelmina van Horn.
Pembangunan baru selesai pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck dan diresmikan pada 10 Juli 1710.
Selain digunakan sebagai stadhuis, gedung ini juga digunakan sebagai "Raad van Justitie" (dewan pengadilan).
Pada tahun 1925 - 1942, gedung ini dimanfaatkan sebagai Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Pada tahun 1942 - 1945 dipakai untuk kantor pengumpulan logistik Dai Nippon.
Tahun 1952 gedung ini menjadi markas Komando Militer Kota (KMK) I, lalu diubah kembali menjadi KODIM 0503 Jakarta Barat.
Tahun 1968, gedung ini diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta.
Seperti umumnya di Eropa, gedung balai kota dilengkapi dengan lapangan yang dinamakan "Stadhuisplein".
Menurut sebuah lukisan yang dibuat oleh pegawai VOC "Johannes Rach" yang berasal dari "Denmark", di tengah lapangan tersebut terdapat sebuah air mancur yang merupakan satu-satunya sumber air bagi masyarakat setempat. Air itu berasal dari Pancoran Glodok yang dihubungkan dengan pipa menuju Stadhuiplein.
Pada tahun 1972, diadakan penggalian terhadap lapangan tersebut dan ditemukan pondasi air mancur lengkap dengan pipa-pipanya. Maka dengan bukti sejarah itu dapat dibangun kembali sesuai gambar Johannes Rach, lalu terciptalah air mancur di tengah Taman Fatahillah.
Pada tahun 1973 Pemda DKI Jakarta memfungsikan kembali taman tersebut dengan memberi nama baru yaitu "Taman Fatahillah" untuk mengenang panglima Fatahillah pendiri kota Jakarta.
Diresmikan menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974.
Pada tahun 1937, Yayasan Oud Batavia mengajukan rencana untuk mendirikan sebuah museum mengenai sejarah Batavia.
Yayasan tersebut kemudian membeli gudang perusahaan Geo Wehry & Co yang terletak di sebelah timur Kali Besar tepatnya di Jl. Pintu Besar Utara No. 27 (kini Museum Wayang) dan membangunnya kembali sebagai Museum Oud Batavia.
Museum Batavia Lama ini dibuka untuk umum pada tahun 1939.
Pada masa kemerdekaan museum ini berubah menjadi Museum Djakarta Lama di bawah naungan LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia).
Pada tahun 1968 "Museum Djakarta Lama" diserahkan kepada PEMDA DKI Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin, kemudian meresmikan gedung ini menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974.