Lini narasi sebuah museum merupakan dasar dari informasi naratif yang disampaikan sebuah museum kepada pemirsanya. Setiap museum perlu mengkaji koleksinya kemudian menentukan lini narasi yang akan disampaikannya, sesuai koleksinya itu. Lini narasi MSRJ telah kami susun berdasarkan koleksi seni rupa dalam museum itu, sehingga ketika berkunjung ke museum itu, para pemirsanya bisa mendapat pemahaman yang komprehensif tentang aspek sejarah, seni dan budaya pameran di Museum itu.
Museum Seni Rupa Jakarta menempati sebuah bangunan tua yang didirikan pada 12 Januari 1870 di area Kota Tua Jakarta, tepatnya di kompleks alun-alun kota yang sekarang dikenal sebagai Taman Fatahilah.
Museum Seni Rupa Jakarta menempati sebuah bangunan tua yang didirikan pada 12 Januari 1870 di area Kota Tua Jakarta, tepatnya di kompleks alun-alun kota yang sekarang dikenal sebagai Taman Fatahilah. Di kompleks ini juga terdapat Museum Sejarah Jakarta dan Museum Wayang. Taman Fatahilah adalah alun-alun utama kota Batavia di masa lalu. Di kawasan Kota Tua Jakarta ini berdiri bangunan-bangunan bersejarah yang menjadi pusat infrastruktur pemerintahan kota masa kolonial: balai kota, bank, kantor pos, stasiun, gereja, dan pengadilan. Saat ini gedung-gedung pusat pemerintahan kota masa kolonial tersebut telah beralih fungsi sebagai museum. Gedung pengadilan beralih fungsi sebagai Museum Seni Rupa Jakarta (MSRJ), sementara balai kota lama ditempati Museum Sejarah Jakarta dan gereja menjadi Museum Wayang.
Koleksi dari Balai Seni Rupa Jakarta (kini dikenal dengan Museum Seni Rupa dan Keramik) menunjukan kekhasan dari ekosistem seni rupa Indonesia yang menunjukkan berbagai dinamika peran institusi publik dan privat dalam sejarah perkembangannya.
Pengumpulan koleksi museum ini dimulai tahun 1970-an, terbangun dari berbagai hibah yang diinisiasi oleh Yayasan Mitra Budaya, Yayasan yang didirikan untuk berbagai usaha perlindungan asset-aset kebudayaan Indonesia. Dalam bidang seni rupa, Yayasan ini mengumpulkan dana untuk pendanaan koleksi awal Balai Pajang Seni Rupa Jakarta sekaligus mengumpulkan koleksi dari kolektor. Sumbangan koleksi Wakil Presiden saat itu Adam Malik, serta sumbangan dana seniman Basoeki Abdullah turut mendukung pendirian Balai Pajang Seni Rupa Jakarta dan koleksinya.
Dengan dukungan berbagai pihak ini Balai Seni Rupa Jakarta diresmikan pada 20 Agustus 1976 oleh Presiden Soeharto dan dibuka dengan pameran "Seabad Seni Rupa Indonesia 1876-1976". Pameran ini menyertakan koleksi pertama museum bersama berbagai koleksi dari instansi pemerintah dan koleksi privat yang berasal dari seniman dan kolektor.
Hingga saat ini, koleksi awal ini masih menjadi karya-karya terkuat dari koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik. Proses pengkoleksian melalui hibah secara besar-besaran kepada institusi pemerintah juga merupakan satu hal yang jarang sekali terjadi saat ini, dimana dunia seni rupa Indonesia sudah berkembang jauh dari masa pembangunan tersebut.
Tahun 1970-an Taman Mini Indonesia Indah (TMII) didirikan. Sebuah lukisan karya Srihadi Soedarsono "Air Mancar" direncanakan disertakan di anjungan DKI Jakarta dalam sebuah pameran yang menandai dibukanya kompleks kebudayaan tersebut. Alih-alih dipamerkan, lukisan tersebut justru memancing amarah Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta yang melakukan kunjungan sebelum kedatangan presiden RI. Ia merasa tersinggung melihat penggambaran citra kota dalam lukisan tersebut yang dipenuhi papan-papan reklame merk Jepang. Ali Sadikin meminta karya tersebut diturunkan dan secara spontan mencoret-coret lukisan dengan spidol hitam. Pada malam hari, ia memutuskan berkeliling Jakarta sambil meminta nasehat kepada beberapa ajudannya sambil mengajukan pertanyaan : "Apakah betul, kota saya seperti yang digambarkan Srihadi?". Setelah berdiskusi, Ali Sadikin memutuskan untuk meminta maaf atas tindakannya dan meminta diaturkan pertemuan dengan seniman.
Peristiwa tersebut begitu lekat dalam ingatan Srihadi, seniman yang menerima permintaan maaf dari Gubernur. Tidak hanya permintaan maaf, Ali Sadikin juga meminta Srihadi untuk membuatkan sebuah karya untuk mengisi satu tembok di gedung balai kota DKI menggambarkan kota Jakarta yang bersih. Srihadipun menghasilkan sebuah karya menggambarkan Jayakarta tahun 1527 hingga tahun 1970-an. Karya tersebut dibuatnya bersama bengkel Dharmakarya di lapangan kampus ITB yang dapat mengakomodasi karya besar berukur 2,75 x 12 meter dan selanjutnya dikenal sebagai lukisan "Jayakarta".
Sketsa, Kota dan Perubahannya menyajikan irisan khusus dalam sejarah seni dalam hubungannya dengan perkembangan kota Jakarta.
Sketsa, Kota dan Perubahannya menyajikan irisan khusus dalam sejarah seni dalam hubungannya dengan perkembangan kota Jakarta. Bagian ini menayangkan koleksi sketsa museum yang terkumpul dari tangan para pelukis. Dalam konteks seniman, koleksi ini merefleksikan bagaimana seniman melihat sudut-sudut kota Jakarta di suatu masa tertentu dengan menangkap esensi subyek - bentuk keseluruhan, perspektif, volume, gerakan, perasaan langsung, cakupan akan cahaya dan bayangan.
Dalam konteks sosial, koleksi ini menandai sebuah bagian sejarah kota dalam masa transisi, sebuah kota yang sedang bergerak menggeliat menyongsong zaman baru, dengan visi-visi besar tentang modernitas dan pembangunan jati diri sebagai manusia urban dan kosmopolit. Apa pun yang terjadi setelah masa itu, disinilah koleksi ini menjadi sangat penting dan relevan dengan situasi saat ini dimana Jakarta juga sedang dalam masa transisi dalam konteks yang baru, dengan segala harapan tentang perubahan yang masih harus diperjuangkan.
Dede Eri Supria merupakan satu dari perupa muda yang tumbuh di masa dominasi seni rupa abstrak . Ia mempertanyakan terpinggirkannya seni lukis realis yang kerap dianggap dekat dengan pelajaran dasar melukis dan semata-mata merupakan copy dari alam. Melalui karyanya, Ia menunjukkan peminatan untuk melampaui seni lukis realis dengan berbagai visualisasi yang mengedepankan pesan-pesan sosial. Karya Urbanisasi (1977) merupakan salah satu karyanya yang menunjukkan realita lain dari konsep pembangunan kota di Indonesia pada era pembangunan. Bila sebagian besar koleksi museum diperoleh melalui hibah dan merupakan karya dari seniman yang telah masuk pencatatan sejarah seni pada masa lampau, akuisisi karya Dede Eri Supria merupakan hal yang progresif pada masanya, mengingat karyanya yang menunjukkan kecenderungan resistensi generasi seniman muda pada periode 1970-an dan posisinya yang tidak berada pada arus utama seni rupa.
Demikian pernyataan Henk Ngantung di ruang rapat dengan presiden Soekarno ditengah protes beberapa pihak atas pembangunan proyek-proyek raksasa ditengah keadaan ekonomi yang tidak menentu. Kepentingan pembangunan seni-seni ruang publik sebagai bagian dari pembangunan ibukota turut melahirkan beberapa monumen seperti patung selamat datang, patung dirgantara dan pembebasan Irian Barat. Ide pembangunan patung-patung ini banyak melibatkan inisiatornya yakni presiden pertama RI, Sukarno. Jejak tersebut dapat terlihat pada inskripsi "ACC" dan tanda tangan Sukarno pada sketsa yang kemudian direalisasikan pembangunannya oleh pematung Edi Sunarso.
Seniman kelahiran 1927 ini pernah belajar melukis pada pelukis asal Wina Prof. Rudolf Wenghart. Ia juga berkenalan dengan cendekia dan seniman dari Bandung seperti : Prof. Schoemaker, Luigi Carl Dake, Affandi, Basuki Abdullah dan Mas Pirngadi. Setelah pindah ke Jakarta pada tahun 1940 dimasa pendudukan Jepang, ia menjadi illustrator di Yomiuri Shinbun. Pada Dasawarsa 1950-1960, Henk aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat. Henk Ngantung diangkat menjadi Gubernur Jakarta tahun 1964 -1965.
Praktik kesenian Henk Ngantung yang beririsan dengan berbagai fase pembentukan bangsa dapat ditemukan melalui karya-karyanya di MSRK. Sketsa dari Monumen pembebasan Irian Barat merupakan data penting mengenai awal pembangunan berbagai 'landmark' di kota Jakarta. Ruang ini juga menyimpan sketsa Henk Ngantung pada peristiwa bersejarah seperti dokumentasi tentara PETA dimasa pendudukan Jepang dan Perundingan Linggardjati.
Sejak 1945 - 1950 perkumpulan seniman bermunculan untuk membantu Pemerintah merekam dan menyiarkan makna kemerdekaan.
Sejak 1945 - 1950 perkumpulan seniman bermunculan untuk membantu Pemerintah merekam dan menyiarkan makna kemerdekaan. Tercatat antaranya, Seniman Indonesia Muda (S.I.M, berdiri 1946) yang berada di dalam struktur Kementerian Penerangan. Tugasnya, antara lain, membuat poster-poster propaganda kemerdekaan. Begitupula organisasi Pelukis Rakyat pada 1947 dan beberapa lainnya. Sebelumnya, beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, pada 20 Oktober 1945 atas inisiatif Djajengasmoro dan sejumlah pelukis, dibentuk Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) dengan tugas propaganda: "PTPI akan berjuang dengan cat, pinsil dan kertas bersama-sama peluru dan kata-kata diplomasi mengusir sisa-sisa penjajah dari Indonesia." PTPI dikabarkan banyak membuat poster-poster propaganda dengan bantuan Kementerian Penerangan dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pola organisasi PTPI adalah versi lain Keimin Bunka Sidhosho. Sementara itu di Bandung, masih di tahun yang sama, juga dibentuk Pelukis Front yang bertugas mendokumentasikan peperangan. Antara Revolusi dan Diplomasi memamerkan sejumlah karya yang dibuat dengan semangat perjuangan kemerdekaan serta memperlihatkan hubungan-hubungan sosial dan historis antara seni, revolusi dan diplomasi.
Memasuki dasawarsa 1950-an, Indonesia terseret dalam arus Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, dua negara adidaya yang memiliki perbedaan tajam dalam hal pemerintahan, ideologi ekonomi, dan militer.
Memasuki dasawarsa 1950-an, Indonesia terseret dalam arus Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, dua negara adidaya yang memiliki perbedaan tajam dalam hal pemerintahan, ideologi ekonomi, dan militer. Sementara sejumlah Negara memutuskan untuk tidak memihak ke salah satu dari dua negara adidaya tersebut. Di dalam negeri, terjadi polarisasi yang memuat perdebatan identitas atau kepribadian nasional dalam seni dan budaya Indonesia. Di satu pihak kubu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dibentuk pada 1950 menempatkan Kerakyatan sebagai landasan visional, sementara di pihak lain membayangkan kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia (universalisme) yang secara bertahap bermula dari Surat Kepercayaan Gelanggang dan kubu Manifes Kebudayaan. Di kubu yang lain seniman-seniman muslim berkumpul dalam sebuah wadah lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi).
Seniman-seniman yang tergabung dalam Lekra memformulasikan "realisme" ke dalam konsep yang membayangkan terciptanya integrasi sosial antara seniman dengan rakyat dengan penerapan poros 1 – 5 – 1, yaitu: 1 asas "politik sebagai panglima"; 5 pedoman penciptaan, yaitu meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, memadukan tradisi dengan kekinian revolusioner, memadukan kreativitas individu dengan kearifan massa, memadukan realism revolusioner dengan romantisme revolusioner dan 1 cara kerja yaitu turun ke bawah (turba). Metode yang dilakukan juga harus dilakukan oleh seniman adalah "metode tiga sama": sama kerja, sama makan dan sama tinggal dengan kaum petani, terutama buruh dan petani miskin. Sebagai tandingannya, corak seni lukis abstrak dihujat sebagai bentuk neokolonialisme dan Barat. Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) D.N. Aidit ketika itu mengatakan: "Abstraksionisme dilapangan sastra dan seni adalah bagian dari bentuk-bentuk agresi kebudayaan imperealis yang dilakukan melewati aparat-aparat seperti USIS, Pusat Kebudayaan Amerika, Field Service, Peace Corps dan lain-lain."
Narasi Konflik dan Perdebatan Besar ini akan menunjukkan bagaimana dasawarsa 1950-1965 membuat seniman terkotak dalam arus-arus besar ideologi; dalam sebuah perdebatan besar dalam menentukan arah kebijakan budaya di bawah bayang-bayang Perang Dingin.
Keseharian dan kehidupan rakyat Indonesia pada periode awal kemerdekaan menjadi subjek yang kerap ditemukan pada karya-karya yang dibuat pada akhir tahun 1940 hingga awal 1960-an.
Keseharian dan kehidupan rakyat Indonesia pada periode awal kemerdekaan menjadi subjek yang kerap ditemukan pada karya-karya yang dibuat pada akhir tahun 1940 hingga awal 1960-an. Pemilihan warna yang cenderung gelap dan suram tidak hanya didorong oleh aspirasi pelukis menggambarkan keseharian yang sederhana tetapi juga terkait akses material lukis yang terbatas. Hal ini dapat kita lihat pada beberapa koleksi MSRK bertarik tahun 1950-an diantaranya pada karya awal Hendra Gunawan serta pelukis yang pernah belajar pada Hendra seperti Sudarso dan Sri Rulijati.
Hingga awal tahun 1960-an dominasi seni lukis dengan langgam realisme merupakan arus utama pada seni rupa Indonesia.
Hingga awal tahun 1960-an dominasi seni lukis dengan langgam realisme merupakan arus utama pada seni rupa Indonesia. Di saat yang sama, dibentuknya berbagai pendidikan formal seni di Jogjakarta dan Bandung memungkinkan pendekatan teori-teori estetika menjadi referensi pembelajaran seni yang sebelumnya tidak terlalu dominan dalam pendidikan sanggar. Akademi seni juga mendorong tumbuhnya ragam gaya abstrak yang menitikberatkan penyederhanaan garis dan stilasi bentuk dari alam berdasarkan analisis seniman. Berkembangnya seni abstrak yang relatif ‘muda’ mengalami goncangan khususnya dengan politisasi seni yang tajam terlihat pada pertengahan 1950-an. Nilai pada seni rupa abstrak yang seringkali diasosiasikan dengan nilai ‘seni untuk seni’ dinilai sebagai seni yang subjektif dan menghalangi seni yang revolusioner dan cenderung mengalami tekanan hingga pertengahan 1960-an.
Tahun 1966 merupakan tahun peralihan kekuasaan di Indonesia. Lukisan Sudjojono "maka lahirlah Angkatan 66" menggambarkan suasana demonstrasi mahasiswa yang menuntut pemerintah atas kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang memburuk.
Tahun 1966 merupakan tahun peralihan kekuasaan di Indonesia. Lukisan Sudjojono "maka lahirlah Angkatan 66" menggambarkan suasana demonstrasi mahasiswa yang menuntut pemerintah atas kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang memburuk. Melalui karya ini Sudjojono menggambarkan suasana perjuangan yang berbeda meski secara konsisten berkarya dengan semangat nasionalismenya. Pada periode ini pula, seni kerakyatan mulai surut dan seni rupa abstrak mulai keluar dari ruang-ruang akademi mengisi ruang-ruang baru.
Medan sosial seni pada masa orde baru juga ditandai dengan perkembangan infrastruktur kebudayaan. Kritikus seni Indonesia, sanento yuliman mencatat pula bahwa paruh kedua dasawarsa 70-an, seni rupa Indonesia mengalami peningkatan jumlah dan frekuensi pameran, pertumbuhan galeri komersial, sponsor pameran dan kolektor lukisan. Terdapat pula perluasan tempat pameran (hotel bank, pusat perbelanjaan) dan sejumlah gejala lain seperti lelang lukisan, pemalsuan lukisan, peredaran kembali lukisan kuno dan lukisan lama.
Dengan latar belakang kondisi sosial tersebut, beberapa seniman yang tumbuh pada era perjuangan kemerdekaan masih menunjukkan langgam lukis realis meski mengalami pemilihan subjek yang jauh berbeda dengan periode-periode terdahulu. Melalui koleksi yang tersimpan di MSRK, ditemukan beragam lukis potret dan citraan pelabuhan dan kapal, subjek yang cenderung populer diangkat pada masa tersebut seiring semangat zaman era pembangunan.
Saat seni lukis abstrak menjadi semakin dominan ditahun 1970-an, seni rupa Indonesia juga menunjukkan ragam kecenderungan artistik.
Saat seni lukis abstrak menjadi semakin dominan ditahun 1970-an, seni rupa Indonesia juga menunjukkan ragam kecenderungan artistik. Seni rupa abstrak dapat berkembang berdasarkan ungkapan emosi sertakan merekam kondisi jiwa dari seniman kemudian dikenal dengan lirisisme. Kecenderungan lain dalam abstrak adalah asimiliasi dengan ragam tradisi Indonesia yang menghasilkan abstraksi berbagai ragam hias nusantara.
Pada periode ini, pendalaman pada emosi manusia tidak hanya diungkap melalui seni rupa abstrak namun juga ditunjukkan melalui peminatan seniman pada fantasi dan dunia ‘bawah sadar’ yang berkembang dalam langgam surealisme.
Pasca tragedi politik 1965, Indonesia memasuki era baru yang dikenal dengan istilah Orde Baru (1966-1998).
Pasca tragedi politik 1965, Indonesia memasuki era baru yang dikenal dengan istilah Orde Baru (1966-1998). Periode ini dikenal sebagai era depolitisasi seni yang ditandai dengan kemenangan paham humanis universal; perayaan atas kebebasan ekspresi individual; keinginan menjalin hubungan internasional dalam seni secara lebih luas; yang sebelumnya diberangus Pemerintah Sukarno. Kritikus Sudarmadji, misalnya, menekankan bahwa era ini adalah eranya kebebasan dalam mencipta seni. Di lihat dari segi kekaryaan, seni rupa pasca 1965 memperlihatkan kecenderungan yang menguat dengan eksplorasi-eksplorasi baru yang menyilangkan estetika tradisional dan bahasa seni lukis modern. Beberapa seniman tampak mengembangkan prinsip-prinisp seni lukis modern dengan semangat Pan Islamisme. Lalu paham formalisme dalam seni lukis yang pada masa sebelumnya diberi cap Barat kini berkembang pesat dan melahirkan berbagai varian kecenderungan.
Lukisan kaca telah lama dikenal dalam khazanah seni Indonesia. Secara historis, lukis kaca berkembang mulai abad ke-16.
Lukisan kaca telah lama dikenal dalam khazanah seni Indonesia. Secara historis, lukis kaca berkembang mulai abad ke-16. Lukisan ini dianggap sebagai lukisan rakyat yang populer untuk hadiah Natal di Eropa. Lukis kaca telah berkembang lebih dulu daripada lukisan cat minyak di kanvas. Meskipun agak lambat, lukisan kaca mencapai perkembangan pesat antara tahun 1910-1960-an. Lukisan kaca dikembangkan oleh para seniman di segala penjuru dunia, dan kini telah membentuk gaya dan tradisi masing-masing. Lukisan kaca yang menjadi tradisi tersebut, akhirnya menjadi penanda dan gaya sebuah kawasan.
Lukisan kaca tradisional sebagian besar bertema keagamaan dan gambaran tentang "kesucian". Di Indonesia seni lukis kaca tradisional hadir dengan motif cerita wayang, masjid, gereja, kaligrafi dan cerita legenda. Pengaruh yang ikut membentuknya adalah unsur budaya Jawa dengan wayangnya, Islam dengan kaligrafinya, dan budaya Cina dengan unsur dekoratifnya. Hal ini terlihat seperti pada seni lukis kaca Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Magelang, Madura, dan Singaraja Bali. Salah satu keunikan lukisan kaca adalah teknik pembuatannya yang terbalik. Mereka menggunakan arsir atau liukan garis yang menghasilkan gaya dekoratif. Gaya dekoratif ini tidak saja mencerminkan unsur hias, tetapi juga bermakna sebagai bagian dari upaya untuk penghormatan terhadap Sang Pencipta. Para pelukis kaca tradisional secara tidak langsung terhubungkan oleh doktrin mengenai kebermanfaatan karya seni secara vertikal (Tuhan) dan horison (masyarakat).
Rakyat dari Balik Kaca menampilkan koleksi museum berupa lukisan kaca dengan langgam Cirebon dan beberapa di antaranya berasal dari Jawa Tengah yang memuat tema kaligrafi Arab dan cerita pewayangan.